“Cinta seperti ini lah yang aku inginkan, cinta yang sesuai dengan syariat Islam. Yang di tuntunkan oleh Allah dan Rasulullah. Bahkan nama lengkapnya pun aku tidak tahu, aku berbicara dengannya selang beberapa hari sebelum akad nikah itu terjadi saat ia menanyakan aku meminta mahar apa. Subhanallah, semua berlangsung cepat, tapi mencintai seperti inilah yang aku inginkan”
Vina mengakhiri tilawah Qur’annya. Tepuk tangan membahana menyambutnya, ketika ia turun dari panggung dan kembali ke tempat duduknya.
Senyum merekah dari sepasang pengantin yang sedang berbahagia hanya bisa ia pandang dengan wajah sendu. Entah sudah berapa kali ia diminta untuk jadi pembaca kalam Ilahi dalam sebuah pernikahan. Ia tidak dapat menghitungnya.
Ia selalu membayangkan, bukan sebagai pembaca kalam Ilahi, ketika ada di panggung pernikahan. Tapi sebagai aktor utama dalam acara itu. Namun,....
“Hei, ngelamun lagi!” tepukan keras dari Yani, sahabatnya sesama perawat membuatnya terjingkat kaget.
Vina tidak membantah. Ia hanya menghela nafas.
“Dicariin sama dokter Akbar tuh” ujar Yani.
“Ada apa?” tanya Vina. Tugas jaganya sudah selesai. Sekarang bahkan waktunya pergantian shift. Dan ia sudah bersiap-siap pulang.
Yani mengangkat bahu.
Vina tahu, meski sudah waktunya ia pulang, jika salah seorang dokter menginginkan ia melakukan sesuatu, ia harus menahan diri lebih dulu. Apalagi dokter Akbar yang memang pernah mengatakan lebih cocok didampingi dirinya dari pada perawat lain.
“Undangan lagi?”celetuk Yani terkejut saat ia menemukan sebuah undangan tergeletak di samping tas Vina.
“Kamu kapan, Vin?nyebar undangan kayak gini?masa nerima undangan terus” komentarnya kemudian dengan cekikikan. Yang membuat Vina, yang sudah mencapai pintu keluar untuk menoleh sesaat.
Senyum sedih tersungging dibibirnya.
“Doaian aja,”katanya sebelum berlalu.
**
Jam menunjukkan pukul 2 siang. Beberapa temannya sudah bersiap hendak berganti shift. Vina yang kebetulan dapat shift malam hari ini datang lebih cepat. Karena mendapat sms dari dokter Akbar menyuruhnya untuk datang lebih awal karena ada keperluan yang hendak disampaikan.
Namun, dokter Akbar rupanya sedang ada rapat dengan direktur Rumah Sakit hingga Asyar nanti. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu sambil mempersiapkan alat-alat tugasnya.
“Vin..pulang dulu ya?”pamit beberapa temannya. Vina agak merasa aneh sejak awal dia memasuki ruang perawat. Mereka menyambutnya dengan senyum-senyum yang tidak wajar. Bahkan beberapa perawat yang lain meledeknya. Entah karena apa.
“Semoga sukses ya, Vin” bisik Yani. Sejurus kemudian ia mengacungkan jempolnya.
Vina yang merasa kian aneh dan penasaran karena mereka juga tidak mau mengatakan apa yang terjadi memilih menyibukkan diri dengan HP nya. Sejak tadi pagi ia memang sedang menunggu balasan sms dari seseorang. Seseorang yang selama ini dekat dengannya. Namun, seserius apa pun ia memandangi layar hp nya tetap tidak ada sms masuk.
Ia mulai menyerah tatkala, hpnya berdering tanda sebuah sms masuk. Vina terjingkat senang. Ruang perawat mulai sepi. Tinggal dirinya dan kepala perawat. Beberapa temannya yang jaga malam masih belum datang.
Bukan dari mas Halim, orang yang selama ini ia tunggu sms nya sejak tadi pagi. Tapi dari salah seorang temannya. Teman SMP nya. Dengan malas, Vina membuka inbox nya. Matanya terbelalak kemudian melihat deretan pesan yang tertera disana. Jantungnya berdebar lebih cepat dan ia merasa tangannya mulai bergetar. Ada sesak di dadanya. Benarkah berita ini?
Mohon doanya teman-teman, salah satu teman kita, Dika akan melangsungkan akad nikah tanggal 17 Januari 2014. Mohon doanya agar menjadi keluarga sakinah mawadah wa rohmah
Dan sederetan pesan itu, cukup membuat Vina terlempar jauh ke masa lalu.
“Saya suka dengan Vina sejak SMP” kata-kata itu keluar dengan mulut bergetar. Dan wajah itu, ya ampun makin menunduk.
Vina yang sedang duduk disebelahnya awalnya cukup kaget. Tapi tak urung tersenyum senang dalam hati. Berarti perasaan cinta yang selama ini ia pendam tidak bertepuk sebelah tangan, tapi bertepuk tangan.
Namanya Radika Pratama. Mereka berdua memang berteman sejak SMP. Dan sejak dibangku SMP pula, Vina mulai mengagumi Dika, panggilan akrab Radika. Wajah yang teduh, tutur kata yang sopan dan kalem, pandai bukan hanya dalam agama tapi juga berkali kali jadi juara kelas disekolahnya mampu membuatnya terpikat kian hari.
Namun, Vina tak terlalu berani mengatakan ia suka. Ia hanya mampu memandangi Dika dari jauh dengan rasa kagum yang kian bertambah dari hari ke hari. Hingga mereka lulus SMP dan bertemu kembali ketika SMA, karena kebetulan mereka melanjutkan di SMA yang sama, rasa itu tetap bersemayam dengan tenang dalam hatinya yang paling dalam.
Hingga saat ia memutuskan untuk pindah sekolah karena dirinya telah diterima disebuah sekolah favorit yang jadi incarannya, tanpa ia duga sama sekali, Dika mengajak berbicara empat mata dengan dirinya sebelum ia benar-benar pindah sekolah senin depan. Pengakuan cinta itulah yang kemudian keluar dari mulut Dika. Bukan main girangnya hati Vina, tapi juga sedih kenapa perasaan itu baru terkuak ketika dia akan pergi.
Perasaan itu terus berlanjut ketika mereka melanjutkan kuliah. Kemajuan teknologi makin membuat mereka berdua mudah dalam berkomunikasi. Meski kuliah berjauhan karena Dika diterima di PTN terkenal di Surabaya sedangkan dia melanjutkan kuliah perawat sesua dengan cita-citanya, tak membuat cinta mereka pudar bahkan hilang.
Setelah hampir lima tahun menjalin hubungan, Vina memberanikan diri memperkenalkan Dika pada orang tuanya. Momentum itu terjadi saat kakak perempuannya menikah. Dari dulu Vina sudah bercerita pada orang tuanya kalau ia sudah dekat dengan seorang laki-laki, dan mereka ingin serius. Sebagai bukti keseriusannya itulah, Vina dan Dika akhirnya memberanikan diri menghadap ke hadapan orang tua Vina.
“Ibu kok tidak suka dengan dia, Vin. Coba kamu cari yang lain” jawab Ibunya saat Vina meminta pendapat Ibunya soal Dika.
“Kenapa bu?” tanya Vina was-was.
“Ibu Cuma merasa dia tidak baik untukmu. Apa dia benar-benar serius denganmu? Feeling Ibu ada yang tidak beres dengan anak itu. Satu lagi Dika orangnya diam banget, tidak bisa ramah dengan keluarga-keluarga kita yang lain. Senyum nya itu lho pelit banget” jawab Ibu.
Jawaban Ibu tidak salah seratus persen. Sejak SMP Dika memang terkenal pendiam. Jarang sekali bicara, jika bicara pun hanya seperlunya saja. Dan itu dulu yang membuatnya kepincut selain kepandaiannya. Tapi kenapa Ibu mengatakan ada yang tidak beres dengan Dika. Ada apa?.
Pertanyaan Vina baru terjawab suatu sore saat ia sedang bertugas disebuah Rumah sakit. Sebuah panggilan masuk ke dalam hp nya. Nomer asing yang tidak ia ketahui siapa. Dan kata-kata pedas langsung berceceran ditelinganya waktu ia memutuskan menerima panggilan asing itu. Dari seorang wanita yang tidak ia kenal. Memarahinya habis-habisan. Entah karena apa. Apalagi ketika ia menyebut-nyebut nama Dika.
“Jangan dekati Dika lagi. Gara-gara kamu hubunganku dengan Dika sekarang bermasalah”kata-kata terakhir yang cukup membuat Vina terhenyak. Hubungan?hubungan apa?. Ada hubungan apa wanita itu dengan Dika. Apa selama ini selain menjalin hubungan dengan dirinya Dika menjalin hubungan dengan wanita lain diam-diam dibelakangnya.
Panik Vina menghubungi nomor hp Dika. Namun, hingga sepuluh kali Vina mengirimkan panggilan hanya nada sibuk yang ia terima. Vina heran, tidak biasanya Dika berlaku demikian. Malam hari Vina pun tidak menyerah untuk mengubungi Dika. Tujuannya hanya satu meminta penjelasan darinya, apa yang sebenarnya terjadi. Dan siapa wanita itu.
Keesokannya, setelah subuh baru Vina mendapat respon dari Dika. Dia menelpon dan menjelaskan semuanya. Rupanya Dika sudah tahu, kalau Vina menelponnya berulang kali pasti karena sudah tahu masalah itu.
“Mohon maaf yang sebesar besarnya, Vina. Aku benar-benar minta maaf” ucap Dika berulang kali setelah Vina menjawab panggilannnya.
“Siapa wanita itu. Siapa dia?apa benar yang di ucapkannya?”tanya Vina terbata-bata. Ia berusaha keras menahan agar air matanya tidak tumpah.
“Namanya, Nina. Dia adalah teman satu team ku waktu penelitian di kampus. Maaf Vina, maaf...” Dika terdiam sejenak mengambil nafas dalam. Vina masih menunggu kelanjutan cerita itu dengan hati yang mulai hancur.
“Kami jatuh cinta, dan hubungan kami sudah berjalan 2 tahun” lanjut Dika dengan suara lirih.
Vina terhenyak. Tersungkur di atas sajadahnya.Dua tahun?selama itu kah hubungan mereka berjalan selama ini. Lalu dirinya?. Jadi selama ini Dika benar-benar bermain dibelakangnya. Menghianati dirinya. Padahal dirinya sudah setia menunggu Dika. Sesuai dengan janjinya. Bahwa Dika akan datang melamarnya ketika dia lulus kuliah kelak. Dan setelah lulus, saat dirinya menagih janji itu, entah kenapa Dika selalu menghindar. Ya, Tuhan. Inikah firasat Ibunya beberapa hari yang lalu.
“Vina tidak perlu khawatir,aku sudah mengakhiri hubungan itu. Kami sudah memutuskan untuk jalan sendiri sendiri. Saya minta maaf Vina. Maaf kalau selama ini saya berbuat khilaf dibelakang, Vina. Aku janji akan memperbaiki semuanya. Kita masih bisa berhubungan lagi kan?”
Vina sudah tidak mendenganrnya. Hp nya sudah ia letakkan jauh-jauh dari dirinya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan pengakuan dan permintaan maaf dari Dika. Hatinya benar-benar sakit dengan kelakuannya yang berani bermain belakang sementara ia begitu setia. Ia menangis sejadinya di atas tempat tidur. Tak menyangka badai itu akan datang.
“Bukankah dari dulu sudak tak bilangin, Dika itu nggak baik-baik amat. Kamunya yang tidak mau dengar. Kejadian kan sekarang!”. Hanya komentar singkat itu yang keluar dari mulut Riska sahabat karibnya, juga sahabat karib Dika sewaktu di SMP tatkala Vina mencurahkan isi hatinya.
“Ngapain sih, kamu masih nungguin dia. Emang laki-laki di dunia ini Cuma dia?”
Dan tangis Vina pun pecah lagi.
“Vina...” usapan lembut dibahunya menyentakkan Vina dari lamunan masa lalunya. Buru-buru Vina menyeka air mata yang mulai menitik di sudut matanya. Dokter Akbar. Keasyikan melamun hingga dia tidak sadar kalau dokter Akbar sudah ada disampingnya.
Tapi, beliau tidak sendiri. Ada seorang laki-laki muda yang mendampinginya. Dengan senyum tipis. Dokter Akbar kemudian memperkenalkan dirinya dengan laki-laki yang bernama, Rian. Seorang dosen muda disebuah kampus swasta di Surabaya. Dokter Akbar mengatakan Rian adalah keponakan jauhnya.
Deheman berulang ulang mengisi ruangan perawat. Termasuk bu Nisa, kepala perawat yang berdehem paling keras saat dokter Akbar keluar dengan keponakannya. Membuat Vina salah tingkah.
“Bakal ada undangan nih hehe” kelakar Sita, temannya. Dan suara makin riuh. Vina memutuskan untuk segera keluar, bukan hanya untuk menghindari ledekan teman-temannya. Namun, juga sudah waktunya untuk bertugas. Pasien di kamar Mawar 2 memanggil minta di ganti infusnya. “Mungkin saja kalian berjodoh. Kebetulan Rian juga sedang mencari calon istri”. Pesan dari dokter Akbar mampir di hp nya tidak lama kemudian. Vina tersenyum tipis. Rian?. Meski berkenalan sekedarnya tadi, ia dapat menangkap kalau laki-laki itu cukup baik. Mungkin benar kata dokter Akbar, mungkin saja mereka berjodoh. Sebagai manusia dirinya hanya mampu berikhtiar kan. Sedetik, muncul nama mas Halim lagi dikepalanya. Mas Halim belum juga menjawab sms nya.
Halim. Vina mengenal laki-laki itu dari kakak laki-lakinya yang kebetulan satu kantor. Awal berkenalan, saat kakak membawa Mas Halim ke rumah. Liburan lebaran setahun lalu, Mas Halim memang sengaja datang ke rumahnya untuk bersilaturahim. Ingin berkenalan dengan keluarganya. Termasuk dirinya. Rupanya tanpa sepengetahuannya, kakaknya diam-diam banyak menceritakan tentang dirinya pada Mas Halim. Dan Mas Halim ingin berkenalan dengannya lebih dekat.
Sebenarnya Vina masih menutup diri karena kandasnya hubungannya dengan Dika, apalagi kandasnya dengan cara begitu menyakitkan. Namun, kakaknya yang terus memaksa untuk berkenalan dulu, membuatnya tidak punya pilihan lain. Setelah pertemuan di rumah itu, Mas Halim kerap menghubunginya. Bahkan kemudian mengatakan pada dirinya, bahwa ia ingin serius menjalin hubungan dengan dirinya.
Karena Mas Halim bertugas di luar kota, otomatis hubungan mereka pun terpaksa jarak jauh. Seminggu sekali Mas Halim masih menyempatkan diri untuk menghubunginya. Hingga beberapa hari yang lalu, orang tuanya meminta dirinya untuk menegaskan hubungannya dengan Mas Halim. Hubungan mereka sudah berjalan selama hampir satu tahun, umur dirinya pun sudah cukup untuk menikah. Apalagi Ibunya mulai sakit-sakitan.
Entah kenapa, sejak Vina mengatakan keinginan orang tuanya, Mas Halim makin susah untuk dihubungi. Apa mungkin??.
Vina buru-buru menepis anggapan buruknya. Terus terang ia masih trauma dengan hubungannya dengan Dika. Bukankah dulu mereka menjalin hubungan jarak jauh pula. Dan berakhir dengan tragis karena Dika bermain belakang. Ia takut, jangan-jangan Mas Halim juga akan berbuat demikian. Tapi, ia berusaha meyakinkan hatinya bahwa Mas Halim tidak akan melakukan hal yang seburuk itu.
Mengingat Dika, Vina teringat undangan yang tadi ia terima. Dika akan menikah?dengan wanita itu kah?. Entah kenapa hatinya masih begitu sakit. Ia berusaha untuk mengikhlaskan semua itu, toh Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Tiba-tiba entah, dapat bisikan dari mana ia berkeinginan menikah lebih dulu dari Dika. Dika sudah menyakitinya, dulu. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya bisa bahagia tanpa Dika. Jika rencana ini ia kemukakan pada Mas Halim apa ya jawabannya?
“Saya harus menyelesaikan S2 saya terlebih dahulu. Dan saya berencana menikah setelah itu, jika Vina tidak keberatan...”
“Maaf, Nak Halim. Harus berapa lama anak saya menunggu lagi. Sudah setahun, Vina menunggu. Kalau memang nak Halim serius dengan Vina. Kalian kan bisa menikah terlebih dahulu, dan nak Halim bisa melanjutkan S2. Jadi hubungan kalian sudah tidak rawan maksiat lagi”.
Sore itu, Mas Halim mendadak datang ke rumah. Hanya ingin menjawab keinginan Ibu. Tentang hubungan mereka. Untunglah saat itu Vina sedang mengambil cuti karena Ibunya sedang sakit. Jadi bisa bertemu dengan Mas Halim.
“Jadi kapan rencana, Nak Halim menikahi putri saya?tidak baik berhubungan tanpa status lama-lama. Takutnya fitnahnya lebih besar lagi” sambung Ayahnya. Vina menunggu jawaban dari Mas Halim dengan jantung berdebar.
Dan diamnya Mas Halim yang cukup lama tanpa sepatah kata pun, sudah memberi Vina sinyal. Kedua orang tuanya mahfum dan menghormati keputusan Mas Halim. Mungkin mereka belum berjodoh.
Semalaman,Vina terlarut dalam doa di atas sujudnya. Ia menumpahkan semua beban hatinya pada Sang Pencipta. Perlahan-lahan air matanya menetes. Ia merasa bersalah pada orang tuanya. Sampai sekarang ia belum mewujudkan keinginan orang tuanya. Melihatnya membina rumah tangga.
Bersimpuh Vina memohon pada Tuhan, agar jalannnya dipermudah dalam menemukan jodohnya. Jodoh yang baik untuk agama, dunia dan akhiratnya.
**
“Vin..kamu gak jadi nikah sama keponakan dokter Akbar?”
Sebulan berlalu. Vina sudah mulai bisa bangkit lagi setelah kejadiannya dengan Mas Halim. Ia mulai bisa beraktifitas lagi dengan tenang. Tanpa banyak pikiran seperti kemarin-kemarin.
Rian. Yani tiba-tiba mengungkit nama itu. Keponakan dokter Akbar. Selama ini Vina memang tidak begitu intens berkomunikasi dengan Rian, mungkin karena Rian sangat sibuk di kampusnya. Ia pun tidak berani menanyakan kelanjutan perjodohan itu pada dokter Akbar. Ia malu. Bahkan Rian belum pernah menyinggung untuk berhubungan yang lebih serius. Komunikasi mereka hanya seputar obrolan ringan selama ini.
“Kenapa, Yan?” hati Vina mulai dag dig dug. Gagal lagi kah?
Yani tidak menjawab. Hanya menyodorkan sebuah undangan berwarna emas. Ia melihat nama dokter Ayu tertera di sana. Oh, rupanya dokter Ayu akan menikah. Vina memang mengenalnya. Dokter muda yang cukup energik. Sesuai dengan namanya, wajahnya yang ayu sering membuat dokter laki-laki disini kerap menggodanya. Tapi, dokter Ayu menanggipnya dengan sopan. Selain cantik dokter Ayu memang terkenal santun, ramah pada siapa pun. Sering menanggapi guyonan dari rekan-rekan kerjanya dengan senyum kecil. Ah, dokter cantik itu akan menikah. Vina begitu iri padanya. Bukankah dokter Ayu lebih muda satu tahun dari dirinya, tapi menikah lebih dulu. Siapakah laki-laki yang beruntung itu?
Mata Vina hampir tak percaya ketika melihat nama calon dokter Ayu. Rian Ferdiansyah, S.Kom.
Nama itu?bukankah itu nama...
“Mungkin kalian memang belum berjodoh. Dia lebih memilih dokter Ayu dari pada kamu. Sabar ya, Vin. Mungkin ada laki-laki lain di sana yang lebih pantas untukmu”Kali ini Yani tidak meledeknya seperti biasanya. Mungkin Yani tahu dirinya akan shock jika ia tahu kabar ini. Mencoba bersimpati padanya.
Sebelum pulang, dokter Akbar khusus menemuinya. Dan Minta maaf soal pernikahan keponakannya.
“Dokter tidak perlu merasa bersalah. Kami mungkin belum berjodoh. Dipaksa seperti apa pun, kalau Tuhan belum berkehendak kami tetap tidak akan bisa menikah. Saya ucapakan terima kasih atas kebaikan dokter Akbar pada saya. Saya minta doanya agar segera dipertemukan dengan jodoh yang memang telah dipersiapkan Tuhan untuk saya. Jodoh saya yang sebenarnya.”
“Tentu, Vina. Kamu sudah saya anggap sebagai anak sendiri. Pasti saya akan mendoakan yang terbaik untukmu”
**
Sejak kejadian itu, Vina makin sering mendekat kan dirinya pada Tuhan. Meminta kemurahan hatiNya agar segera mempertemukan dirinya dengan laki-laki pilihan Tuhan. Lebih banyak bermunajat disepertiga malamnya. Banyak-banyak bertilawah dan mendengar murottal. Fokus ibadah dan berusaha sebaik mungkin memperbaiki diri. Memantaskan diri. Tentu di hadapan Tuhan pemilik semesta alam. Bukankah Tuhan sudah berjanji pada makhluknya, bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan. Dan janji Tuhan selanjutnya, bukankah wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik. Vina terus berjanji akan terus memperbaiki diri, agar Tuhan pun memperbaiki jodohnya. Fokus Ibadah.
“Benar kamu sudah pasrah kalau pakdhe menjodohkanmu dengan siapa pun?”tanya Pakdhe Vina. Liburan lebaran. Ia masih di rumah karena karena liburnya masih tersisa satu hari.
Vina mengangguk pelan. Ya, ia memang sudah pasrah dengan jodohnya. Dengan siapa pun itu, selama agamanya baik dia akan menerima. Bukan ia tidak mau lagi berusaha mencari calon suami sendiri, tapi upayanya selama ini selalu berujung kegagalan.
Setelah perjodohannya dengan Rian gagal, tak kurang kawan-kawannya mencoba untuk mencomblangi dia dengan beberapa orang laki-laki. Bahkan satu dua teman masa SMP nya, pun pernah terang terangan meminta dirinya untuk menikah dengan dirinya. Vina hanya menjawab singkat, tegas tapi dengan nada sesopan mungkin.
“Kalau memang serius silahkan bicara dengan Ayahku, kalau Ayahku ridho InsyaAllah aku pun akan ridho dan bersedia menikah denganmu. Aku tidak ingin menjalin hubungan seperti anak ABG, karena bukan masanya lagi”.
Pun lain kali ketika Riska mencoba menjodohkan dirinya dengan mantan kakak kelasnya sewaktu SMP juga. Vina sangat mengenalnya. Laki-laki yang baik. Sopan dan yang penting wawasan agamanya cukup baik. Vina pun antusias menjalin taaruf dengan kakak kelasnya tersebut.
Jawaban dari laki-laki itu kemudian yang membuatnya kembali terhempas. Mulai menyerah.
“Saya ingin menikah, tapi 2 atau tiga tahun lagi. Saya belum siap menikah tahun ini”.
Vina menggeleng keras. Tanda ia tidak mau menunggu selama itu waktu Riska menyampaikan jawaban kakak kelas mereka. Dia ingin menikah tahun ini juga. Meski hatinya mulai menyerah, tapi ia yakin akan ada laki-laki yang memang telah disiapkan untuknya.
Dan kini ia berhadapan dengan laki-laki itu. Sesuai janji pakdhenya, beberapa hari yang lalu. Bahwa ia akan dijodohkan dengan salah seorang guru yang sudah lama mengabdi di pesantren yang di asuh oleh pakdhenya.
“Ini Vina, keponakan saya. Dia seorang perawat. Kebetulan sedang libur jadi bisa bertemu dengan Roni” pakdhenya membuka pertemuan mereka dengan memperkenalkan Vina pada laki-laki yang masih menunduk sejak Vina datang dan duduk di samping pakdhenya. Ayahnya duduk di samping nya. Tersenyum merekah.
“Vin..ini Roni. Salah satu guru disini. Ibumu sangat menyukai dia, dan sempat meminta pakdhe untuk menjodohkan kalian. Pakdhe akan menjembatani taaruf kalian dengan senang hati. Mungkin Tuhan berkenan menjodohkan kalian”
Vina mencoba melirik dengan malu-malu ke arah Roni. Pandangannya sempat beradu dengan pandangan Roni yang juga meliriknya dengan malu-malu. Kemudian sama-sama menunduk malu. Tak Satu pun kata-kata keluar dari mulut mereka.
Pertemuan di Subuh itu, memang belum menghasilkan keputusan final. Baik Vina maupun Roni, sama-sama meminta waktu untuk berpikir. Roni mengatakan ingin membicarakan perjodohan itu dengan orang tuanya. Ia tidak mungkin mengambil keputusan sendiri. Karena pada hakikatnya, pernikahan bukan hanya menyatukan 2 manusia, tapi juga menyatukan dua keluarga.
Vina pun memanfaatkan kesempatan itu berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Meminta petunjuk agar diberikan yang terbaik. Jika memang Roni, menurut Tuhan adalah yang terbaik untuk dirinya, ia akan menerima dengan penuh kesyukuran. Pun juga, seandainya keluarga Roni tidak berkenan dengan perjodohan itu, ia pun sudah siap dan akan menerimanya dengan penuh kesyukuran.
Dua hari kemudian, keluarga Roni memberi kabar lewat pakdhenya, bahwa mereka setuju jika Roni menikah dengan Vina. Keluarga mereka akan berencana melamar Vina seminggu kemudian. Vina terdiam sesaat di ruang makan, saat mencuri dengar pembicaraan Ibunya dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. Roni bersedia menikah dengannya. Inikah jawaban Istikhoronya beberapa hari yang lalu. Dan kata-kata Ibunya selanjutnya makin membuatnya terdiam.
“Kenapa tidak langsung nikah saja, coba tanyakan pada keluarga Roni. Bagaimana kalau acara lamarannya diganti akad nikah saja”.
Menikah?secepat itu?. Rencana keluarganya memang awalnya adalah lamaran dulu, baru membicarakan tanggal pernikahan. Dan Ibunya meminta berubah haluan?.
Pakdhe Vina pun tidak keberatan menyampaikan usul Ibu pada keluarga Roni. Mereka pun mengatakan akan memberi keputusan secepatnya.
Sore itu, kening Vina berkerut dalam. Nomor asing muncul di layar Hp nya. Ia baru menyelesaikan tilawahnya. Mukenanya masih ia pakai. Sajadah pun masih terhampar di samping tempat tidurnya. Penasaran Vina mengangkat panggilan itu.
“Waalaikum salam. Maaf ini siapa?”
“Muhammad Rindra Al-Fatih” jawaban itu yang Vina terima. Kening Vina berkerut. Bingung.
Siapa ya?pikir Vina keras. Ia mencoba mengingat-ingat nama temannya yang manakah ini. Namun, sepengetahuannya ia tidak punya teman dengan nama tersebut.
“Maaf...” sela Vina masih dengan kebingungan.
“Saya biasa dipanggil Roni”
Pikiran Vina mulai ngeh ketika mendengar nama itu, laki-laki yang beberapa hari yang lalu taaruf dengannya, tapi tunggu dari mana Roni mendapat nomor Hp nya?dari pakdhenya atau dari orang tuanya. Selama ini bukankah mereka tidak pernah komunikasi sama sekali. Awal jumpa pun mereka diam seribu bahasa.
“Kalau saya boleh tahu, Vina minta mahar apa saat akad nikah nanti. Kami sekeluarga sudah setuju untuk langsung akad nikah. Kami di sini sudah menyiapkan persiapan untuk pernikahan kita. Mohon maaf juga kalau nanti seserahannya ada yang tidak sesuai dengan keinginan Vina, karena persiapannya pun kilat. Tanggal 22 Desember InsyaAllah, kami akan datang ke rumah orang tua Vina, melangsungkan akad nikah”
Vina langsung bersujud di atas sajadahnya yang masih terhampar di hadapannya. Menangis haru. Ya, Tuhan inikah jawaban yang Engkau berikan atas penantianku selama ini. Terima Kasih Tuhan. Terima kasih.
Dan gamis putih yang tergantung di kamar Vina menjadi saksi kebahagiannya saat ini. Baju pengantin, berbentuk gamis yang Vina beli beberapa hari yang lalu, dipeluknya erat. Ia akan jadi pengantin. Sebentar lagi.
0 komentar:
Posting Komentar